Modernis.co, Jambi – Hilir dari berpolitik adalah mewujudkan kesetaraan secara radikal. Dalam berbagai kontkes. Ini yang sering luput dalam diskusi publik bangsa kita akhir-akhir ini.
Diskusi publik yang mengalir selalu berujung pada siapa yang akan menjabat sebagai apa. Fenomena ini menunjukkan ada semacam reduksi atas substansi berpolitik. Di sisi lain juga menunjukkan ada semacam disorientasi dalam berpolitik.

Sebetulnya, berpolitik adalah pekerjaan yang mulia. Istilah zoon politicon biasanya diterjemahkan dengan hewan yang berpolitik. Hewan perpolitik konotasinya buruk. Karena identik dengan korupsi, kolusi, nepotisme, berebut pengaruh, kompromi, kong kali kong, dan seterusnya. Sehingga politik konotasinya selalu buruk.
Di situ, kita sering salah dalam memahami istilah tersebut. Sebetunya, hewan yang berpolitik berarti orang mulia. Karena pekerjaan yang dia lakukan adalah untuk menciptakan kesejahteraan.
Bepolitik jelas untuk mendapat kekuasaan. Punya kekuasaan artinya punya tanggungjawab. Menjadi penguasa artinya harus bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, berpolitik adalah pekerjaannya mulia.
Menjadi penguasa artinya punya tanggungjawab untuk menciptakan kesetaraan ekonomi, akses yang sama atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan pemerataan kebahagiaan. Dan itu dilakukan dengan berpolitik.
Karena itulah binatang yang berpolitik itu mulia. Karena dia melakukan pekerjaan baik untuk orang banyak. Dan pekerjaan itu tidak dilakukan oleh semua orang.
Karena itu, sebetulnya sangat mudah untuk mengukur pekerjaan sebuah pemerintahan. Jika masih ada kesenjangan ekonomi, dan itu bisa dilihat dengan adanya orang miskin, berarti sebuah pemerintahan gagal menjalankan fungsinya.
Jika masih ada orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan, berarti sebuah pemerintahan gagal menjalankan fungsinya. Jika ada satu orang sakit yang tidak bisa berobat, berarti sebuah pemerintahan gagal menjalankan fungsinya. Dan begitu seterusnya.
Ada sebagian kalangan yang begitu mengagungkan demokrasi. Di satu sisi, demokrasi memang memberikan ruang bagi rakyat untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasi.
Tapi, dibalik itu ada konsekuensi yang harus dibayar. Karena demokrasi berarti juga liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi berarti memberikan ruang bagi kapitalisme untuk berkembang.
Liberalisasi ekonomi berarti melegalkan berbagai sumber daya dikuasai kalangan tertentu. Dalam sistem ini, orang boleh menumpuk harta dalam jumlah banyak. Korporasi sah-sah saja menyedot dan menguasai berbagai sumber daya. Bahkan dilindungi oleh hukum.
Ini salah satu setan yang bersembunyi dibalik topeng demokrasi. Dampaknya adalah kesenjangan. Kembali lagi, kesetaraan tidak terwujud. Dengan demikian, tanpa semangat kesetaraan, demokrasi hanya omong kosong. Alias jalan buntu. Substansi berpolitik tidak tercapai.
Kita bisa melakukan abstraksi. Sebut saja misalnya. Seseorang yang mengambil harta orang-orang kaya untuk dibagikan pada orang-orang miskin. Apa yang akan terjadi? Di alam demokrasi seperti bangsa kita, orang tersebut pasti akan terjerat hukum. Walaupun untuk dibagikan pada orang-orang miskin.
Di sini sangat terlihat bahwa demokrasi melindungi hak kepemilikan privat secara hukum. Yang artinya, melindungi hak milik juga sekaligus melanggengkan kesenjangan. Ini wajar, sebagaimana dikatakan oleh Hobbes bahwa hukum tidak lebih sebagai kompromi politik.
Di negara kita, hukum adalah kompromi politik antara korporasi dan penguasa. Sebagai dampaknya, regulasi yang muncul akan selalu memperkukuh kapitalis dan melanggengkan kesenjangan itu sendiri.
Jadi. Kita harus dudukkan antara substansi dan bentuk. Bagi saya, apapun bentuk sistem politiknya, subtsansi kesetaraan itu yang harus dihadirkan.
Baiklah. Di dalam Islam ada sebuah ajaran yang disebut zakat. Tujuan zakat adalah mempersepit jurang kesenjangan, kususnya dalam konteks ekonomi.
Itulah mengapa ajaran ini sangat penting. Saking pentingnya, bahkan para ulama menjadikan zakat sebagai tiang atau fondasi kepercayaan. Rukun iman.
Artinya, jika zakat tidak ditegakkan. Maka gugurlah imannya. Karena hilangnya satu tiang berakibat robohlah bangunan iman. Dalam artian ada semangat kesetaraan yang hendak diucapkan dalam ajaran tersebut. Sayangnya, zakat akhir-akhir ini justru tereduksi sebatas ritual semata.
Gerakan-gerakan yang terobsesi oleh Marx selalu menggemakan sosialisme sebagai antitesis kapitalisme. Tentu semangat kesetaraan yang mendasari berbagai gerakan tersebut. Namun, sosialisme mutlak justru menggiring pada jebakan fasisme.
Sejarah telah membuktikan itu. Elit sosialis selalu memanfaatkan kondisi itu untuk membangun fasisme. Pada akhirnya, fasisme akan menguras sumber daya yang dimiliknya alih-alih meratakan distribusinya. Pada kondisi ini, kesetaraan justru sama sekali tidak terucap.
Soal lain. Saya mengamati kalangan tertentu masih terus berusaha mengucapkan ide tentang Khilafah. Ide tersebut terus dibubuhi dalil-dalil agama agar terkesan murni teokrasi.
Kita lupa, bahwa khilafah adalah monarkisme yang dibungkus dengan teokrasi. Di sisi lain, menurut saya, khilafah adalah eksperimen politik yang gagal menyatukan politik dan agama.
Pada level ide, konsep tersebut sah-saja diucakan. Sebagai sebuah ide, saya juga menghargai itu. Tapi apakah ada jaminan terwujudnya kesetaraan? Terlebih lagi kultur bangsa kita sama sekali berbeda dengan konteks munculnya praktik khilafah.
Jadi. Bagi saya, apapun sistemnya, itu hanya cara untuk mewujudkan kesejahteraan. Selama semangat kesetaraan itu yang hendak dituju, sistem apapun yang diucapkan tidak menjadi soal.
Sebaliknya, selama kesetaraan dinafikan, sistem apapun dalam berpolitik justru akan menciptakan hewan-hewan yang rakus. Dari pada hewan yang mensejahterakan.